Kamis, 22 Januari 2015

BUMI PUN TERTAWA KARENA TINGKAH MANUSIA

Ketika kutulis tulisan ini galau gulana sedang menghampiri relung jiwaku. Kucoba untuk merangkai puzzle kehidupan  masa lalu yang sebagian hilang ditelan oleh cepatnya waktu. Dunia ini penuh dengan teka-teki yang membuat anak adam  sering  bertanya kebingungan. Entah akan dibawah kemana arah kehidupan ini penulis juga tidak tau. Dalam angan-angan yang kosong sebisa mungkin kuketik rangkaian kata-kata yang tak tau menceritakan tentang apa.

Berpikir tentang misteri kehidupan mencoba menyibak tabir dibalik arti kata “kehidupan”. Melihat manusia sibuk dengan impian dan urusan mereka, menghabiskan energi untuk suatu hal yang bersifat abstrak. Sungguh lelah melihat kehidupan ini, kehidupan yang penuh kerja keras tak merasakan kenyamanan. Meskipun dapat dirasa namun sekejap hilang diganti oleh rutinitas yang membosankan dan tiada usai.

Demi kepulan asap di dapur, para manusia rela mengeluarkan energi mereka, hujan-hujan dalam perjalanan mencari batu hitam yang dapat diubah menjadi cawan emas. Tak habis pikir diriku, mereka menghabiskan waktu mereka demi mengumpulkan batu hitam itu agar tercapai sesuatu hal yang abstrak dalam bayangan mereka.

Pertama kali seorang bayi mengeluarkan tangisan suara membisingkan telinga, mulailah petualangan kehidupan bagai di gurun yang panas dan tak setetes air pun menetes di sana. Tumbuh dewasa bagai benalu yang menepel pada inangnya tak bisa lepas jika tak dipaksa dengan sabit sang pemilik pohon. Menjadi benalu tidak begitu memalukan bagi sang bayi. Tumbuh dewasa, merekah bagai bunga bangkai yang mengundang jutaan lalat dengan bau busuknya. Itulah manusia dimana kehidupan mereka berawal dan dimulai, tapi kadang garis finis sudah di depan mata. Tergantung kehendak tuhan yang mengatur. Apakah daya makhluk kerdil ini melawan dan mengubahnya?

Membisu tak bersuara tapi dapat dirasa kelembutan bagai angin yang membelah tubuh. Berhenti sejenak jari jemari ini menekan tombol keyboard, entah tak tau apa yang akan dituliskan. Jutaan sel saraf dalam otak mulai menyambung, merangkai membentuk suatu gambaran yang masih kabur. Mau `dibawah kemanakah kehidupan ini, semakin ku memikirkannya semakin ku menjadi kecil serupa dengan satu titik putih di tengah lembaran hitan yang menakutkan.

Kehidupan dipandang indah akan menjadi indah tapi masih saja terasa buruk dengan gunung-gunung tinggi yang menghalanginya. Kuberada dipersimpangan sekarang, tak tau arah tak tau jalan. Tinggal kubergantung pada cahaya putih mengikutinya hingga kutemukan sesuatu yang abstrak itu. Lucu sekali, di bawah kemanapun selalu menurut. Tidak taukah kalian bahwa cahaya putih itu menuntun kalian pada dunia yang sangat menyenangkan, begitu menggairahkan tapi na’as yang ditelan.

Tertawa kutertawa melihat tumpulnya otak manusia. Merasa bangga dengan cawan emas yang  ditemukan dengan cara merampas hak kumbang-kumbang di tempat sampah. Padahal cawan itu tak bernilai apapun di hadapan Tuhan justru akan menjerumuskan kalian pada lembah yang sangat indah dengan jilatan apinya yang meliuk-liuk. Berjalan bertentengan disaksikan rumput-rumput gersang di tengah tanah yang begitu subur. Memakai dasi dari ekor sapi, tertawa tebahak-bahak karena sekarang yang abstrak itu sudah didapatkan.

Oh tidak… mataku mulai kabur, silau melihat tubuh semolek penggoda di sampingku. Ku bisa dapatkan itu dengan cawan emasku. Tak cukup hanya satu tapi  minta yang lebih hingga patung semar yang  kudapat. Merasa tertipu tapi justru mengikuti keledai yang berjalan lambat dengan beban di atas punggungnya. Tak puas rasanya hidup hanya seperti ini. Coba tak lagi kucari batu hitam itu dan takkan kuubah menjadi cawan emas, tapi kuingin mencari api yang terlihat seperti pelangi.


                                                                                                                                                      HASBI DIQI