BUMI PUN
TERTAWA KARENA TINGKAH MANUSIA
Ketika kutulis
tulisan ini galau gulana sedang menghampiri relung jiwaku. Kucoba untuk
merangkai puzzle kehidupan masa lalu
yang sebagian hilang ditelan oleh cepatnya waktu. Dunia ini penuh dengan teka-teki
yang membuat anak adam sering bertanya kebingungan. Entah akan dibawah
kemana arah kehidupan ini penulis juga tidak tau. Dalam angan-angan yang kosong
sebisa mungkin kuketik rangkaian kata-kata yang tak tau menceritakan tentang
apa.
Berpikir tentang
misteri kehidupan mencoba menyibak tabir dibalik arti kata “kehidupan”. Melihat
manusia sibuk dengan impian dan urusan mereka, menghabiskan energi untuk suatu
hal yang bersifat abstrak. Sungguh lelah melihat kehidupan ini, kehidupan yang
penuh kerja keras tak merasakan kenyamanan. Meskipun dapat dirasa namun sekejap
hilang diganti oleh rutinitas yang membosankan dan tiada usai.
Demi kepulan
asap di dapur, para manusia rela mengeluarkan energi mereka, hujan-hujan dalam
perjalanan mencari batu hitam yang dapat diubah menjadi cawan emas. Tak habis pikir
diriku, mereka menghabiskan waktu mereka demi mengumpulkan batu hitam itu agar
tercapai sesuatu hal yang abstrak dalam bayangan mereka.
Pertama kali
seorang bayi mengeluarkan tangisan suara membisingkan telinga, mulailah
petualangan kehidupan bagai di gurun yang panas dan tak setetes air pun menetes
di sana. Tumbuh dewasa bagai benalu yang menepel pada inangnya tak bisa lepas
jika tak dipaksa dengan sabit sang pemilik pohon. Menjadi benalu tidak begitu
memalukan bagi sang bayi. Tumbuh dewasa, merekah bagai bunga bangkai yang mengundang
jutaan lalat dengan bau busuknya. Itulah manusia dimana kehidupan mereka
berawal dan dimulai, tapi kadang garis finis sudah di depan mata. Tergantung
kehendak tuhan yang mengatur. Apakah daya makhluk kerdil ini melawan dan
mengubahnya?
Membisu tak
bersuara tapi dapat dirasa kelembutan bagai angin yang membelah tubuh. Berhenti
sejenak jari jemari ini menekan tombol keyboard, entah tak tau apa yang akan
dituliskan. Jutaan sel saraf dalam otak mulai menyambung, merangkai membentuk
suatu gambaran yang masih kabur. Mau `dibawah kemanakah kehidupan ini, semakin
ku memikirkannya semakin ku menjadi kecil serupa dengan satu titik putih di
tengah lembaran hitan yang menakutkan.
Kehidupan dipandang
indah akan menjadi indah tapi masih saja terasa buruk dengan gunung-gunung
tinggi yang menghalanginya. Kuberada dipersimpangan sekarang, tak tau arah tak
tau jalan. Tinggal kubergantung pada cahaya putih mengikutinya hingga kutemukan
sesuatu yang abstrak itu. Lucu sekali, di bawah kemanapun selalu menurut. Tidak
taukah kalian bahwa cahaya putih itu menuntun kalian pada dunia yang sangat
menyenangkan, begitu menggairahkan tapi na’as yang ditelan.
Tertawa kutertawa
melihat tumpulnya otak manusia. Merasa bangga dengan cawan emas yang ditemukan dengan cara merampas hak
kumbang-kumbang di tempat sampah. Padahal cawan itu tak bernilai apapun di
hadapan Tuhan justru akan menjerumuskan kalian pada lembah yang sangat indah
dengan jilatan apinya yang meliuk-liuk. Berjalan bertentengan disaksikan
rumput-rumput gersang di tengah tanah yang begitu subur. Memakai dasi dari ekor
sapi, tertawa tebahak-bahak karena sekarang yang abstrak itu sudah didapatkan.
Oh tidak… mataku
mulai kabur, silau melihat tubuh semolek penggoda di sampingku. Ku bisa
dapatkan itu dengan cawan emasku. Tak cukup hanya satu tapi minta yang lebih hingga patung semar yang kudapat. Merasa tertipu tapi justru mengikuti
keledai yang berjalan lambat dengan beban di atas punggungnya. Tak puas rasanya
hidup hanya seperti ini. Coba tak lagi kucari batu hitam itu dan takkan kuubah
menjadi cawan emas, tapi kuingin mencari api yang terlihat seperti pelangi.
HASBI
DIQI